Sabtu, 13 Agustus 2022

Candi Sambisari Bangunan Kuno untuk Dewa Shiwa dari Abad 9

 


Candi Sambisari adalah candi Hindu (Siwa) yang berada di Purwomartani, Kalasan, Sleman, Yogyakarta, kira-kira 12 km di sebelah timur kota Yogyakarta ke arah kota Solo atau kira-kira 4 km sebelum kompleks Candi Prambanan. Candi ini dibangun pada abad ke-9 pada masa pemerintahan raja Rakai Garung pada zaman Kerajaan Mataram Kuno.

Candi ini ditemukan pada tahun 1966 oleh seorang petani di Desa Sambisari dan dipugar pada tahun 1986 oleh Dinas Purbakala. Nama desa ini kemudian diabadikan menjadi nama candi tersebut.

Posisi Candi Sambisari terletak 6,5 meter di bawah permukaan tanah, kemungkinan besar karena tertimbun lahar dari Gunung Merapi yang meletus secara besar-besaran pada awal abad ke-11 (kemungkinan tahun 1006). Hal ini terlihat dari banyaknya batu material volkanik di sekitar candi.

Sambisari dibangun pada masa yang sama dengan Candi Prambanan, Candi Plaosan, dan Candi Sojiwan sekitar tahun 812 – 838 M. Letaknya pun berdekatan. Fungsi Candi Sambisari tentu adalah sebuah tempat sembahyang karena berabad-abad lampau, kawasan utara ini menjadi pusat peradaban Mataram kuno.

Untuk operasional dari destinasi wisata Candi Sambisari sendiri buka setiap hari mulai dari jam 07.00-16.00 WIB. Nikmati panorama dan keunikan dari bangunan candi ini untuk liburan anda yang menyenangkan di Jogjakarta.

Selasa, 19 Mei 2020

Dewi Sri Adalah Simbol Kesuburan Masyarakat Jawa

Dewi Sri
Lukisan Dewi Sri oleh Jarot Hadrian
Dewi Sri dianggap sebagai Dewi Padi pada kehidupan masyarakat Jawa sampai saat ini. Dewi Sri diharapkan mendatangkan kesuburan dan kesejahteraan masyarakat. Kesejaterahan dan kesuburan juga diceritakan pada era Rakai Sanjaya yang lebih kurang memerintah selama setengah abad. Pada prasasti Canggal, 732 yang dikeluarkan oleh Rakai Sanjaya diceritakan bagaimana kesejaterahan dan kesuburan tanah Jawa. Berikut ini cuplikan prasasti Canggal yang berkaitan dengan hal tersebut:

Bait 1 menguraikan pembangunan lingga oleh Rakai Sanjaya di atas gunung.
Bait 7 tentang pulau Jawa yang sangat makmur, kaya akan tambang emas dan banyak menghasilkan padi.
Bait 12 menguraikan kesejaterahan, keamanan dan ketentraman negara. Rakyat dapat tidur di jalan, tidak perlu takut akan pencuri dan penyamun atau akan terjadi kejahatan lainnya. Rakyat hidup serba senang.

Masyarakat Jawa sampai saat ini sangat tergantung pada hasil pertanian sebagai sumber mata pencahariannya. Pada jaman Hindhu Budha dulu mereka memilih Dewa Wisnu dan Dewi Sri sebagai salah satu dewa yang dipuja. Dalam mitologi India, Dewa Wisnu merupakan dewa pemelihara dan penyelamat dunia. Salah satu arca Wisnu yang ditemukan di candi Barong Yogyakarta duduk dalam sikap paryankasana, sikap tangannya varamudra, yaitu sikap tangan memberi anugerah, sedangkan Dewi Sri yang merupakan salah satu sakti Dewa Wisnu, dianggap sebagai Dewi Padi dalam kehidupan masyarakat Jawa. Dengan demikian, melalui pemujaan Dewa Wisnu dan Dewi Sri diharapkan mendatangkan berkah kesuburan, sehingga dapat memberikan peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat.

sumber:
Djarot Hadrian
Slamet Muljana

Sabtu, 02 Maret 2019

Dewa Brahma Sang Pencipta ber-Muka Empat



Brahma adalah Dewa Pencipta berkepala atau bermuka empat dengan masing-masing muka menghadap kearah empat penjuru mata angin. Ini adalah simbolisme dari empat kitab Weda, Empat Yuga, dan empat warna. Dengan Kepala bermuka empat ini Dewa Brahma disebut sebagai Catur Anana atau Catur Mukha atau Asta Karna (delapan telinga).

Kitab Matsya Purana menceritakan bahwa kepala Brahma sebelimnya berjumlah lima, tapi tinggal empat karena dipotong oleh Dewa Siwa. Diceritakan bahwa Brahma mencipta seorang wanita dari tubuhnya sendiri yang diberinya lima buah nama; Satarupā, Sawitri, Saraswatī, Gāyatri, dan Brāhmani. Karena cantiknya, Brahma merasa tertarik, sehingga sang dewi terus dipandang. Satarupā yang merasa terus diperhatikan menghindar ke sebelah kanan. Dewa Brahma sebagai dewa besar malu untuk menoleh ke kanan dan karena itu muncul kepala Brahma ke dua di sebelah kanan. Begitu pula ketika Satarupā menghindar ke kiri, ke belakang, dan akhirnya muncul kepala Brahma yang kelima ketika Satarupā menghindar dengan terbang ke angkasa. Begitulah asal-usul Dewa Brahma memiliki muka lebih dari satu.

Tetang Kepala Brahma yang tinggal empat, menurut kitab Padma Purāna, ketika terjadi perselisihan antara Brahma dan Wişņu, Siwa datang melerai keduanya dengan mengabulkan permintaan keduanya. Brahma sangat gembira, sehingga lupa memberi penghormatan kepada Siwa. Siwa merasa kurang senang lalu menghampiri Brahma dan kemudian memotong salah satu kepalanya dengan kuku jari kirinya dan berkata’ “Kepala ini terlalu terang, akan memberikan kesulitan kapada dunia karena sinarnya yang terang melebihi seribu cahaya matahari.”

Brahma yang dikenal sebagai salah seorang dewa Trimūrti ini bila dibandingkan dengan dewa-dewa Trimūrti lainnya, yaitu Siwa dan Wişņu, tidaklah sebesar dan sepenting keduanya. Tidak ada kuil atau bangunan suci untuk memujanya, juga tidak ada aliran yang khusus memuja Brahma seperti yang terjadi pada aliran-aliran Siwait maupun Wişņuit. Walaupun tidak ada bangunan suci yang diperuntukkan kepadanya, dalam relung-relung kuil-kuil untuk Siwa dan Wişņu, umumnya di relung utara diletakkan arca Dewa Brahma yang kadang-kadang juga dipuja.


Dalam kitab suci Bhagawadgita, Dewa Brahma muncul dalam bab 8 sloka ke-17 dan ke-18; bab 14 sloka ke-3 dan ke-4; bab 15 sloka ke-16 dan ke-17. Dalam ayat-ayat tersebut, Dewa Brahma disebut-sebut sebagai Dewa pencipta, yang menciptakan alam semesta atas berkah dari Tuhan Yang Maha Esa. Dalam Bhagawadgita juga disebutkan, siang hari bagi Brahma sama dengan satu Kalpa, dan Brahma hidup selama seratus tahun Kalpa, setelah itu beliau wafat dan dikembalikan lagi ke asalnya, yakni Tuhan Yang Maha Esa

Dalam ajaran-ajaran Weda dikatakan bahwa pada mulanya di saat dunia masih diselubungi oleh kegelapan, ketiKA belum tercipta apa pun, Ia, makhluk yang ada dengan sendirinya yang tanpa awal dan akhir, berkeinginan mencipta alam semesta dari tubuhnya sendiri.

Mula-mula ia menciptakan air, kemudian menyebarkan bermacam-macam benih-benihan. Dari benih-benih ini kemudian muncul telur emas yang bersinar seperti cahaya matahari. Dari telur emas inilah Brahma lahir yang merupakan perwujudan dari Sang Pencipta itu sendiri. Menurut kitab Wişņu Purāna, telur emas itu merupakan tempat tinggal Sang pencipta selama ribuan tahun yang akhirnya pecah, dan muncullah Brahma dari dalamnya untuk mencipta dunia dengan segala isinya.

Brahma, seperti juga Siwa dan Wişņu, memiliki bermacam-macam nama sebutan, di antaranya adalah Atmabhu (yang ada dengan sendirinya), Annawūrti (pengendara angkasa), Ananta (yang tiada akhir), Bodha (guru), Bŗhaspat (raja yang agung), Dhātā(pencipta), Druhina (sang pencipta), Hiranyagarbha (lahir dari telur emas), Lokesha(raja seluruh dunia), Prajāpati (raja dari segala makhluk), dan Swayambhū (yang ada dengan sendirinya). Di dalam mitologi Hindu dikatakan bahwa wahana (kendaraan) Brahma adalah hamsa (angsa).

Binantang-binantang yang dijadikan sebagai kendaraan para dewa pada kenyataannya merupakan manifestasi dari sifat-sifat para dewa itu sendiri. Hamsa adalah simbol dari “kebebasan” untuk hidup kekal. Sifat seperti ini dimiliki oleh Brahma. Hamsa merupakan binatang yang dapat hidup di dua alam, dapat berenang di air, dan terbang ke angkasa. Di air ia dapat berenang semaunya dan di angkasa ia dapat terbang ke mana saja ia suka. Ia mempunyai kebebasan, baik di bumi (= air) maupun di angkasa.


Simbol-Simbol Dewa Brahma

1 . Empat Wajah
Empat wajah / empat kepala menggambarkan simbol dari empat weda (Reg weda , Sama weda , Yajur weda dan Atharwa weda) dan masing-masing muka menghadap kearah yang berbeda-beda yaitu arah utara , selatan , barat , timur . Karena memiliki empat kepala, brahma juga dikenal sebagai catur anana atau catur mukha atau asta karna (delapan telinga).

2 . Empat Tangan
Brahma empat lengan mewakili empat arah mata angin timur, selatan, barat, dan utara. Tangan kanan kembali merupakan pikiran, tangan kiri belakang mewakili kecerdasan, tangan kanan depan ego, dan tangan kiri depan kepercayaan diri.

3 . Manik-manik Doa
Manik-manik doa melambangkan zat yang digunakan dalam proses penciptaan.

4 . Buku - Buku
Buku-buku melambangkan pengetahuan.

5 . Emas
Emas-emas melambangkan kegiatan, wajah emas dewa brahma menunjukkan bahwa Ia secara aktif terlibat dalam proses penciptaan alam semesta.


6 . Angsa
Angsa adalah simbol rahmat dan kebijaksanaan. Dewa brahma menggunakan angsa sebagai wahana (kendaraan)

7 . Mahkota
Mahkota Brahma mengindikasikan otoritas tertinggi nya.

8 . Bunga Teratai
Bunga teratai melambangkan alam dan esensi hidup segala sesuatu dan makhluk di alam semesta.

9 . Jenggot
Jenggot hitam atau putih dewa brahma ini menunjukkan kebijaksanaan dan proses abadi penciptaan.

Jumat, 06 April 2018

Dewi Hariti Pelindung dan Penyayang Anak-Anak

Dewi Hariti Candi Mendut
Dewi Hariti Candi Mendut
Dewi Hariti
Ada relief unik yang terdapat pada jalan masuk Candi Mendut dan Candi Banyunibo, yaitu relief seorang wanita yang dikerubungi anak-anak kecil. Kalau anda ingin mengetahui tentang sejarah dan seluk beluk candi dan bukan sekedar berwisata di candi pastinya pikiran anda akan dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan, salah satunya adalah siapakah wanita itu? Disini akan saya coba untuk menjawab. Dia adalah Dewi Hariti. Menurut cerita pada awalnya dia adalah seorang Yaksa (makhluk setengah dewa setengah manusia biasanya dalam bentuk Raksasa) yang suka melahap tubuh anak-anak. Namun setelah mendapat pencerahan Sang Budha, Dewi Hariti kemudian tersadar lalu bertobat dan berbalik menjadi penyayang dan pelindung anak-anak. Kisah tentang pertobatan dan kejadian pencerahan Dewi Hariti lebih lengkapnya seperti dibawah ini.

Dewi Hariti adalah adalah adik Yaksa Saptagiri sebagai pelindung Desa Rajagriha, dengan nama ‘Abhirti’. Suaminya adalah Pancika, anak Pancala, juga adalah Tentara Dewa Kuwera, yakni yaksa pelindung Gandhara. Pasangan Yaksa ini mempunyai 500 orang anak, sehingga disebut ‘panca-putra-sata-parivara”. Dewi Hariti mempunyai anak bungsu yang sangat disayanginya yaitu ‘Priyangkara’.

Yaksa Abhirti atau Dewi Hariti ini amat suka memakan daging anak-anak. Dalam waktu singkat, dia telah melahap hampir semua anak-anak di desa Rajagriha. Hal inilah yang membuat rakyat Rajagriha bersedih, dan kemudian para orang tua di desa itu datang untuk mencari bantuan dari Sang Buddha memohon pertolongan guna menyelamatkan anak-anak dari pemangsaan Dewi Hariti. 
Sang Buddha kemuadian berkata kepada para penduduk “Pulanglah dan tunggu sampai Yaksa meninggalkan rumahnya. Kemudian sembunyikan anak bungsu yang bernama Priyangkara. Saya akan mengatakan apa yang harus kalian lakukan selanjutnya,” 

Ketika Yaksa meninggalkan rumahnya, para orang tua di desa itu dengan sigap dan sembunyi-sembunyi menculik anak bungsu Dewi Hariti. Ketika pulang Hariti tidak dapat menemukan Priyangkara di rumah. Dicarinya ke mana-mana dengan perasaan sedih, dan bahkan nyaris putus asa. Dia sangat bersedih dan menderita, menangis, serta berguling-guling di tanah.

Pada akhirnya, karena putus asa, Dewi Hariti pun minta pertolongan kepada Buddha untuk dapat mengembalikan anak bungsunya. Sang Buddha menanyakan latar kesedihnya, dan dijawab bahwa ia kehilangan salah satu dari 500 anaknya. Padahal, pada sisi lain Hariti adalah makhluk yang tak mengenal belas kasih, suka melahap daging anak-anak. 

Buddha Sakyamuni bertanya kepada Yaksa Hariti, “Apakah engkau begitu mengasihi anakmu?” Dia menjawab, “Ya!” Sang Buddha berkata, “Engkau sangat mengasihi anakmu, orang tua yang lain juga mengasihi anak-anak mereka. Lalu, mengapa engkau memakan hampir semua anak-anak mereka? Bila engkau berjanji berhenti memakan anak-anak yang lain, maka saya akan membantu untuk menemukan anakmu.” 

Dewi Hariti segera berjanji. Setelah Sang Buddha menjelaskan "Kebenaran" kepadanya, dia segera tercerahkan dan tidak berani memakan anak-anak yang lain lagi. Sejak itu, Hariti menyadari kebodohannya, dan akhirnya berkenan mengikuti ajaran sang Buddha, yaitu "dharma ahimsa" (pantang melakukan kenyiksaan, apalagi pembunuhan terhadap makhluk hidup). Dewi Hariti tidak lagi memakan daging manusia, dan berubah total menjadi pelindung dan penyayang anak-anak. Dan sebagai balasannya, atas saran dari Sang Buddha maka orang-orang berjanji untuk menjaga anak-anaknya dengan memberinya persembahan makanan.

Kebanyaan Vihara Buddha di India Utara orang-orang Budha akan menyisihkan sebagian makanannya kepada Dewi Hariti dan ke 500 anaknya. Arcanya selalu diposisikan mengarah ke ruang makan. Selain di India Utara, Dewi Hariti juga dipuja di India Barat, bahkan akhirnya populer pula di Nepal, Tibet, Cina, Jawa, Bali, dan Turkestan. 

Pada umumnya Hariti ditampilkan bersama pasangannya, yaitu Pancika, yang merupakan tentara Dewa Kubera (Kuwera). Pada pengarcaan biasanya Hariti digambakan dalam posisi duduk atau berdiri dengan dikelilingi lima orang anak, yang diduga mewakili 500 anaknya. Salah satu tangannya membawa buah delima, sebagai simbol kesuburan. Delima juga melambangkan penyembuhkan dari kanibalisme. Warna buah delima yang merah menyerupai daging manusia yang merupakan santanpan Dewi Hariti ketika masih gemar memakan daging anak-anak.

Jumat, 30 Maret 2018

Relief Sidharta Berpamitan pada Keluarga Untuk Menjadi Pendeta


Setelah menemukan 3 Kasunyatan (Kenyataan Hidup), Pangeran Sidharta Gautama memutuskan untuk pergi dari istana yang penuh kenikmatan dan kemewahan. Sidharta ingin menemukan kenapa manusia harus mengalami ketiga hal itu dan bagaimana cara terbebas dari ketiga kenyataan hidup itu. 

Potongan kisah ini dapat ditemukan pada relief Candi Borobudur. Pada tingkat kedua, masuk bagian Rupadhatu, cara membaca dengan berjalan seperti jarum Jam, relief pada dinding sisi kanan menceritakan Kisah sang Buddha yang akan turun ke bumi menjadi manusia. Pada bagian ini diceritakan saat kehidupan terakhir sang Buddha sebelum akhirnya tercerahkan, yang terlahir sebagai Sidharta Gautama, seorang pangeran. 

Potongan kisah Pangeran Sidharta saat berpamitan dengan ayahnya untuk menjadi seorang pertapa atau Bhiksu dapat dilihat pada video diatas. Sebelum mengunjungi Candi Borobudur, alangkah baiknya kalau melihat dan belajar tentang Sejarah Candi ini.

Rabu, 28 Maret 2018

Kisah Manohara pada Relief Candi Borobdur

Relief Putri Manohara
Relief Cerita Manohara di Candi Borobudur
Cerita Putri Manohara sudah ada sejak ribuan tahun yang lalu. Namun, beberapa tahun yang lalu gempar tentang kisah seorang wanita dari Indonesia yang mirip dengan cerita Putri Manohara. Masih ingat ya tentang seorang gadis bernama Manohara Odelia Pinot. Dia menikah dengan seorang Pangeran dari negeri Malaysia, namun kisahnya pilu karena mendapat perlakuan buruk dari suami dan keluarganya. Pengalaman gadis ini mirip dengan kisah Putri Manohara yang terdapat dalam cerita Buddhis seperti apa yang diceritakan dalam kitab Divyavadana.  Cerita Putri Manohara ini juga terpahatkan pada relif di Candi Borobudur, berlokasi di sebelah barat, lorong kedua candi Borobudur. Nama Manohara yang berarti "Cantik" adalah nama dari sesosok mahluk ‘Dewi Kinnara’ sejenis makhluk halus yang berkepala manusia namun berbadan burung. Putri Manohara adalah Kinnari yang tinggal di Gunung Kailasha. Dia adalah putri bungsu dari tujuh bersaudara, putri bungsu dari Raja Kinnara. Cerita selengkapnya seperti di bawah ini:

Alkisah seorang pemburu yang bernama Halaka mengunjungi seorang ‘Resi’ yang berdiam di tepi sebuah telaga, kemudian Resi menceritakan bahwa ada Dewi yang berbadan burung namun berkepala manusia, wajahnya sangat cantik dan memiliki suara yang merdu, lembut serta manis bagaikan madu.  Dewi ini adalah ‘Dewi Kinnara’ yang dapat berubah wujud menjadi seorang wanita yang sangat cantik.

Kemudian Halaka mendatangi Telaga itu. Dia menemukan Dewi-dewi Kinnara cantik yang sedang mandi. Dilihatnya seorang dewi yang paling cantik, dia adalah Manohara. Dengan menggunakan sebuah ‘jaring sakti’, Halaka menangkap Manohara ketika sedang mandi bersama dayang-dayangnya. Manohara yang tertangkap Halaka hanya dapat pasrah pada nasibnya saja, lalu dia menyerahkan ‘permata’ yang ditanam di dahinya pada Halaka, sedangkan dayang-dayangnya menghilang dalam ketakutan.

Halaka membawa Manohara ke sebuah kerajaan bernama "Pancala Selatan". Kemudian, putra mahkota kerajaan yang bernama ‘Sudhana’ melihat kecantikan Manoharā langsung jatuh cinta. Kemudian Halaka menyerahkan Manohara pada pangeran Sudhana untuk diboyong ke istana sebagai permaisuri.

Raja Kerajaan Pancala Selatan memiliki dua orang penasihat (Purohita), yang pertama sangat setia pada raja sedangkan yang kedua lebih setia pada pangeran Sudhana karena pernah dijanjikan akan diangkat menjadi penasihat ketika pangeran Sudhana naik tahta. Hal ini diketahui oleh penasihat pertama sehingga dia khawatir akan kehilangan jabatan ketika pangeran naik tahta kelak.

Kemudian dia mengatur siasat untuk menyingkirkan pangeran Sudhana dengan menyarankan Raja agar mengirim Sudhana untuk memadamkan pemberontakan yang tengah berkecamuk di suatu daerah di negeri ini, misi ini sangat berbahaya karena tujuh misi serupa sebelumnya selalu gagal melaksanakan tugasnya. Sebelum pergi untuk melaksanakan tugas yang diembannya, pangeran Sudhana kemudian menemui ibunya untuk menyerahkan Manohara beserta permata dari dahinya pada ibunya, dia mohon agar ibunya berkenan menjaga Manohara. 

Sungguh beruntung di tempat pemberontakan pangeran Sudhana memperoleh bantuan pasukan Yakṣa (peri) di bawah pimpin jendral ‘Pañciko’ yang diutus oleh ‘Raja Yakṣa”, sehingga dia mampu memadamkan pemberontakan tersebut. Setelah tugasnya selesai kemudian dia kembali ke istana.

Pada suatu malam raja merasa gelisah karena dibayangi mimpi buruk, penasihat raja kemudian menyarankan agar raja berkenan mengadakan upacara korban dengan cara mengorbankan Manohara, pada awalnya raja menolak tapi pada akhirnya dia menyetujui juga upacara korbanan ini. Manoharāa yang mendengar hal itu lalu minta tolong agar ibu mertuanya berkenan menolongnya, namun ibu mertuanya tidak menemukan cara untuk menyelamatkannya. Kemudian dia menyerahkan kembali permata pada Manohara, sehingga Manohara dapat terbang kembali ke ‘Negri Kinnara’.

Untuk mempermudah pangeran Sudhana menemukannya kelak maka dia singgah dulu ke tempat ‘Resi” di mana dia ditangkap. Kemudian Manoharā menyerahkan ‘cincin pengenal’ sebagai tanda darinya kepada ‘Resi’ untuk disampaikan pada pangeran Sudhana agar dapat menyusulnya kelak dan dia juga menunjukkan jalan ke ‘Negri Kinnara’.

Setelah menghadap Raja maka pangeran Sudhana menyerahkan semua harta pampasan kepada Raja, kemudian dia kembali ke istananya untuk menemui Manohara. Namun dia tidak menemukan Manoharā di istananya, kemudian ibunya menceritakan semua kejadian tersebut pada pangeran Sudhana, tanpa kehadiran Manohara hidupnya terasa hampa, kemudian dia bertanya pada Halaka tentang hal ini dan Halaka menganjurkan agar menemui Resi yang berdiam di tepi telaga.

Raja berusaha mencegah kepergian pangeran Sudhana dengan mengerahkan pasukan untuk menjaga pintu gerbang istana, namun pangeran Sudhana berhasil lolos dan tiba di tempat Resi dengan selamat, dengan bantuan ‘cincin pengenal’ dan petunjuk jalan maka dia berhasil tiba di ‘Negri Kinnara’.

Tidak jauh dari istana di ibukota ‘Negri Kinnara’ pangeran Sudhana melihat beberapa Kinnara sedang mengambil air untuk mandi putri Manohara, kemudian pangeran Sudhana meletakan ‘cincin pengenal’ di dalam pot air untuk diperlihatkan pada putrid Manohara. 

Setelah mendengar laporan dan melihat cincin tersebut maka secara rahasia pangeran Sudhana bisa dibawa ke istana untuk menghadap Raja Druma, awalnya raja ingin mencabik dan memotong Sudhana menjadi beberapa potongan namun akhirnya raja menerima dengan bersahabat, Raja meminta bukti kemampuan dan keterampilan pangeran Sudhana. Raja Druma, menantang Pangeran Sudhana untuk membuktikan keahliannya memanah pada para jago-jago panah di Kerajaan Utara. Pangeran Sudhana menyanggupi. Kompetisi digelar, adu memanah antara Pangeran Sudhana dengan para jagoan panah dari Kerajaan utara berlangsung. Terbukti, Pangeran Sudhana memang jago memanah dan setiap para ksatria Kerajaan Utara terkalahkan oleh skill memanahnya.

Raja Druma yang melihat kenyataan itu memahami bahwa Pangeran Sudhana memang benar mencintai anaknya. Syarat yang ia berikan pada menantunya itu juga sudah dipenuhi. Ia pun memberikan anaknya tercinta kembali ke suaminya.

Pangeran Sudhana dan istrinya, atas permintaan dari ayahanda Manohara, Raja Druma, mereka tinggal sementara di Kerajaan Utara. Sekian lama mereka tinggal di kerajaan itu, Pangeran Sudhana meminta diri untuk kembali ke Kerajaan Selatan dan menuntut atas tindakan ayahandanya pada istrinya.

Pangeran Sudhana memberontak pada Kerajaan Pancala Selatan, merebut tahta itu dari ayahandanya. Tak lama kemudian, ia berhasil menjadi raja di Kerajaan. Kemudian di Kerajaan Utara, Raja Druma yang sudah tua turun tahta dan menyerahkannya pada Pangeran Sudhana. Lewat Pangeran Sudhana, kerajaan di Pancala yang saling berseberangan dan berbeda ini disatukan untuk hidup dalam kemakmuran dan kedamaian.

Minggu, 25 Maret 2018

Cerita Jataka Gajah Agung pada Candi Borobudur

Jataka Gajah Agung
Cerita Jataka tentang Gajah Agung
Gajah Agung
Jataka pada Relief Borobudur

Bodhisatwa terlahir sebagai Gajah yg mulia. Pada suatu hari sang Gajah sedang berada dipinggiran hutan yg dikelilingi padang pasir. Tiba-tiba bertemu dengan sekelompok orang yg sedang kelaparan,kehausan dan keletihan serta merintih meminta pertolongan. Tergeraklah hatinya untuk menolong orang-orang itu.

Kemudian sang Gajah menyuruh rombongan itu untuk berjalan ke lembah dikaki gunung. Gajah itu bilang disana ada danau yg airnya sangat jernih dan ada gajah mati sehingga mereka bisa makan daging gajah tersebut dan mengambil ususnya untuk dijadikan kantung-kantung air sebagai bekal perjalanan pulang mereka.

Kemudian sekelompok orang itu berjalan menuju ke tempat yang ditunjukkan oleh Gajah tersebut, sementara sang Gajah pergi mengambil jalan lain mendaki gunung dari sisi berbeda dan setelah sampai atas dia menjatuhkan dirinya ke bawah lembah kaki gunung yang ditunjuk.

Akhirnya saat rombongan itu sampai di lembah kaki gunung, mereka menemukan danau dengan air bening dan seekor gajah yg sudah mati. Mereka terheran karena Gajah yang mati tersebut mirip dengan Gajah yang memberi arahan kepada mereka untuk datang ke tempat itu. Mereka akhirnya mengetahui bahwa itu adalah Gajah yang sama.  

Rombongan itu akhirnya selamat sampai tujuan berkat pengorbanan dari Sang Gajah Agung, yang telah mengorbankan dirinya menjadi makanan dan memberikan ususnya sebagai kantong air bagi sekelompok orang yg sedang kelaparan dan kehausan.